Senin, 25 April 2016

RENDANG DAN FILOSOFI

Hampir semua orang yang tinggal di Indonesia mengetahui apa itu rendang, mengingat banyaknya jumlah warung makanan Padang yang tersebar di seluruh Nusantara. Tapi apakah ada di antara kita yang tahu tentang sejarah masakan rendang khas Padang ini? Rendang merupakan sebuah makanan tradisional dari daerah Sumatera Barat, tepatnya Minangkabau, yang terbuat dari daging sapi diselimuti dengan racikan bumbu yang pedas.
Sejarah Rendang
Rendang merupakan masakan yang kaya rempah dengan daging sebagai bahan dasarnya. Rendang juga menggunakan karambia (santan kelapa) dan campuran bumbu khas yang dihaluskan seperti cabai, lengkuas, jahe, kunyit, bawang, dan bumbu-bumbu lainnya. Keunikan rendang adalah bumbu alami yang digunakan memiliki sifat antiseptik, sehingga bisa berguna sebagai pengawet alami. Bumbu lain juga diketahui punya aktivitas antimikroba yang kuat, dan tidak heran jika rendang bisa bertahan berbulan-bulan. Untuk pemasakan rendang hingga kuah benar-benar kering, prosesnya akan menghabiskan waktu sekitar delapan jam.
Menguak Sejarah Masakan Rendang Khas Padang yang Mendunia
Penelusuran tentang sejarah rendang akan membawa kita ke salah satu daerah di Sumatera bagian barat, yaitu Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, rendang sudah menjadi salah satu bagian dari kehidupan kuliner mereka sejak jaman nenek moyang mereka. Untuk sejarah kapan pertama kali rendang diciptakan sendiri, sayangnya tidak banyak bukti tertulis yang dapat ditemukan. Salah satu dugaan yang muncul di kalangan para peneliti adalah bahwa panganan ini telah muncul sejak orang Minang mengadakan acara adat mereka untuk pertama kalinya. Awal mula sejarah masakan rendang khas Padang ini terdengar dimana-mana mungkin terjadi karena seni memasak ini terus berkembang dari Riau, Mandailing, Jambi, bahkan hingga ke Negeri Sembilan yang merupakan negara bagian federasi Malaysia karena perantau Minang yang tinggal di sana.
Catatan tentang rendang sebagai makanan tradisional dari daerah Minangkabau ditemukan pada awal abad ke-19, namun Gusti Anan, seorang sejarawan dari Universitas Andalas di Padang memiliki dugaan bahwa rendang sudah mulai muncul sejak abad ke-16. Hal ini ia simpulkan dari catatan literatur abad ke-19 dimana tertulis bahwa masyarakat Minang darat sering bepergian menuju Selat Malaka hingga Singapura. Perjalanan tersebut mereka lalui dengan jalur air dan bisa memakan waktu kurang lebih sekitar satu bulan. Mengingat tidak adanya perkampungan di sepanjang perjalanan itu, para perantau ini pasti sudah menyiapkan bekal makanan yang akan tahan hingga waktu yang lama, dan makanan itu adalah rendang. Gusti juga menduga bahwa pembukaan kampung baru di pantai timur Sumatera hingga Singapura, Malaka, dan Malaysia oleh masyarakat Minang pada abad ke-16 juga sudah mengikutsertakan rendang sebagai makanan mereka karena perjalanan tersebut butuh waktu berbulan-bulan.
Selain dari catatan sejarah, sejarah masakan rendang khas Padang juga dapat ditemukan dalam catatan harian Kolonel Stuers yang pada tahun 1827 menulis tentang kuliner dan sastra. Di dalam catatan tersebut sering kali muncul secara implisit deskripsi kuliner yang diduga mengarah pada rendang dan tertulis istilah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan. Hal ini, menurut Gusti, adalah salah satu metode pengawetan yang biasa dilakukan oleh masyarakat minang. Rendang sendiri berasal dari kata “merandang,” yaitu untuk memasak santan hingga kering secara perlahan hal ini cocok dengan rendang yang memang butuh waktu lama untuk dimasak hingga kuahnya kering.
Sejarah rendang juga tidak lepas dengan kedatangan orang-orang dari Arab dan India di kawasan pantai barat Sumatera. Dipercaya bahwa pada abad ke-14, sudah banyak orang-orang India yang tinggal di daerah Minang, dan bumbu serta rempah-rempah sudah diperkenalkan oleh orang-orang tersebut. Ada juga dugaan yang mengatakan bahwa masakan kari yang sudah menjadi makanan khas India dan diperkenalkan pada abad ke-15 di daerah Minang merupakan dasar dari rendang itu sendiri. Hal ini sangat mungkin mengingat adanya kontrak perdagangan dengan India pada masa itu. Ahli waris tahta kerajaan Paguruyung juga membuka adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan kari yang diproses lebih lanjut. Yang membuatnya berbeda adalah rendang memiliki sifat yang lebih kering, sehingga bisa jauh lebih awet jika dibandingkan dengan kari.
Masakan rendang khas Padang tetap tidak mati hingga sekarang, bahkan menjadi semakin terkenal dengan menjamurnya warung makan Padang di setiap sudut kota di Nusantara. Meski dikenal dengan bentuknya yang terbuat dari daging, ternyata banyak juga variasi rendang lainnya seperti rendang ayam, bebek, hati, telur, paru, dan ikan tongkol. Selain itu ada juga rendang suir yang berasal dari Payakumbuh. Yang membedakan rendang suir dengan rendang biasa adalah daging ayam atau sapi yang digunakan, serat dagingnya akan disuir kecil-kecil.
Filosofi Di Balik Rendang
Makanan rendang khas Padang sebagai masakan tradisional memiliki posisi yang terhormat dalam hidup bermasyarakat di Minangkabau. Hal ini dikarenakan bahan-bahan pembuat rendang memiliki makna sendiri-sendiri. Bahan pertama yaitu dagiang atau daging sapi yang juga merupakan bahan utama melambangkan niniak mamak dan bundo kanduang, dimana mereka akan memberi kemakmuran pada anak pisang dan anak kemenakan. Bahan kedua adalah karambia atau kelapa, yang melambangkan kaum intelektual atau yang dalam bahasa Minang disebut Cadiak Pandai, dimana mereka merekatkan kebersamaan kelompok maupun individu. Yang ketiga adalah Lado atau sambal sebagai lambang alim ulama yang tegas dan pedas dalam mengajarkan agama. Bahan terakhir adalah pemasak atau bumbu, yang melambangkan setiap individu dimana masing-masing individu memiliki peran sendiri-sendiri untuk memajukan hidup berkelompok dan adalah unsur terpenting dalam hidup bermasyarakat masyarakat Minang.
Sekian informasi singkat mengenai sejarah masakan/makanan rendang khas Padang yang mendunia, semoga dapat menambah pengetahuan teman-teman semua mengenai sejarah masakan traditional yang ada di Indonesia. Mari bersama-sama kita jaga dan lestarikan kekayaan kuliner yang kita miliki, khususnya dalam hal ini masakan/makanan rendang. Jangan sampai warisan leluhur kita ini dibajak oleh negara lain seperti kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Terima kasih telah mengunjungi Kumpulan Sejarah

PROSA BESERTA ANALISA

PROSA FIKSI (CERPEN)
Pengemis Misterius
Gila! Orang itu benar-benar tak punya malu. Dasar dekil. Gembel. Bayangkan, bagaimana hati tak dongkol, beberapa hari yang lalu, ia memelas kepadanya. Kemarin begitu, kemarinnya juga begitu. Sekarang pagi-pagi sudah absen di depan mata.
Badrun gondok setengah mati. Ia masih ingat betul peristiwa beberapa hari yang lalu. Pengemis gembel itu memelas dengan kata-kata mengiba.
“Bang, minta sedekahnya, Bang..amal, Bang... tolong..buat makan, Bang..”
Badrun gelagapan. Padahal ia belum mendapat order satu barang pun; sebuah sendal kulit, sepatu, tas, atau apa saja yang bisa mendatangkan rupiah.
“Tolong, Bang... sedekahnya”
“Aduh! Sabar kek kenapa, sich?” gerutu hati Badrun. Tangannya masih lincah mencari-cari uang recehan di dalam laci. Tidak ada. Hanya ada uang logam kecil sebesar kancing baju. Seratus perak. Badrun tak tega memberi uang sekecil itu. Tak sampai hati. Apalagi zaman sekarang orang-orang sudah sangat peka terhadap nilai uang. Era globalisasi rupanya sudah mengubah watak dan sikap manusia terhadap sesuatu yang bernama materi. Tidak di kota, tidak di desa. Juga pengamen dan pengemis gembel itu. Badrun pernah menyaksikan seorang pengamen melempar uang logam hasil pemberian orang.
“Huh! Emang gue ini siape? Masa Cuma dikasih cepe. Keterlaluan. Buat beli rokok sebatang pun ta dapat,” kata pengamen itu kepada temannya.
“Gocap juga uang, kok...” Balas temannya sambil tertawa.
“Semprul, lu!”
“Mungkin dia tidak punya uang kecil selain cepean itu. Masih untung orang itu mau memberi.”
“Tampangnya saja bonafid, tapi pelitnya minta ampun. Masa suara gue Cuma dihargai cepe. Terlalu. Padahal, saya sengaja memilih lagu terbarunya Broery Marantika. Padahal, suaraku lebih merdu dari suaranya Doel Sumbang. Padahal, kita pernah menjuarai festival ngamen se-kecamatan ya, Jim”
“Ya, ya... tapi jangan ngoceh terus. Yuk kita cari order lagi!”
Badrun tak habis pikir. Rupanya pengemis (juga pengamen) sekarang punya hukum tak tertulis tentang standar upah minimum mengemis dan mengamen.
Badrun mengambil dompetnya yang sudah lecek. Satu lembar ratusan berwarna merah terselip dalam dompetnya. Sekarang ia tak perlu pusing-pusing lagi. Dan yang terpenting agar orang tua dekil itu segera berlalu di hadapannya.
Sebenarnya Badrun bisa saja menolak (bukan berarti mengusir) secara halus. Bilang saja tidak ada uang kecil. atau, maaf Pak pengemis, saya belum dapat order. Atau saya lagi bokek. Lain kali saja, ya..gitu! Namun hati kecilnya tak mampu untuk melakukannya. Untuk berbohong pun, ia tak sanggup. Apalagi sekarang adalah bulan suci.
Almarhum ayahnya pernah berpesan agar selalu berbuat baik terhadap sesama. anak yatim dan peminta-minta, jangan dihardik, apalagi diusir. Kalau toh tak mampu memberi, katakan dengan cara yang sopan dan lemah lembut.
Wejangan ayahnya itu terus terekam dalam hatinya. Seperti sebuah “amanat” yang harus dipikulnya kelak. Memang benar, karena beberapa tahun setelah kematian ayahnya, Badrun ditinggal mati oleh istri tercinta, Siti Rahimah. Badrun sangat kehilangan. apalagi anak-anak yang ditinggalkannya masih kecil.
Bagi Badrun, istrinya bukan saja pelipur di kala duka, tetapi ikut juga membantu secara ekonomis. untuk memenuhi hajat keluarga, istrinya berjualan rujak uleg dekat Pasar Kramat. Jerih payah istrinya itu sangat membantu. Apalagi ketika Badrun menganggur setelah becak dilarang beroperasi. Setelah menganggur, Badrun mencari kebutuhan hidup dengan usaha lain di kota ini.
Badrun memberi uang kepada pengemis. Dengan rasa suka cita, pengemis segera berlalu hingga hilang ke tengah keramaian pasar.
Besoknya pengemis datang lagi. Saat itu matahari sudah berada di atas ubun-ubun langit. Udara kota menyengat pori-pori bumi.
Binatang melata menggelepar-gelepar kepanasan di atas aspal. Peluh dan keringat jatuh bercucuran.
Badrun menyeka peluh di wajahnya. Hampir setengah hari ia menunggu. Namun tak seorang pun yang lewat memberikan order jahitan. Badrun gelisah. Terbayang satu per satu wajah anak-anak yatim di rumahnya. Mereka menunggu rezeki dengan harap-harap cemas. Apalagi sekarang mendekati lebaran Idul Fitri.
Dalam kegamangan dan penantian yang panjang, muncul pengemis mirip kakek-kakek. Badrun sangat mengenalnya karena hampir setiap hari ia datang meminta kepadanya.
Pengemis itu sudah uzur. Badannya setengah bungkuk. Pakaiannya compang camping tak karuan. ia berjalan tertatih-tatih dengan menggunakan tongkat penyangga. Lama sekali ia mendekatseperti jalannya kura-kura. Ia berjalan sambil menahan sebelah kakinya yang pincang.
Entah mengapa, ada perasaan iba yang menusuk-nusuk hati Badrun. Syukurlah, selama ini ia tak pernah menolak permintaannya. Tidak seperti pemilik toko sebrang jalan yang sering menolak pengemis itu. Atau pemilik toko di sudut jalan yang membiarkannya menunggu berlama-lama di depan toko hingga membuat pengemis segera berlalu dengan tangan hampa.
Badrun mengamati pengemis itu. Tiba-tiba ia terjatuh di dekat trotoar kaki lima. Hampir saja ia terjerebab dalam blumbangan kotor. Badrun segera berlari memberikan pertolongan.
“Bapak siapa?” tanya pengemis. Wajahnya tampak lelah.
“Saya Badrun. Tukang sol.”
“Oh.. nama yang sungguh indah. Tuan seperti bulan purnama yang menerangi jiwaku.”
Badrun kaget. Ia sendiri tidak begitu perduli dengan namanya. Yang jelas, emaknya pernah cerita bahwa ia dilahirkan pada malam bulan purnama. Untuk itu dinamai Badrun. Bulan purnama!
“Bapak siapa?” Badrun balik bertanya.
“Saya Ibnu Sabil.”
“Datang dari daerah mana?”
“Saya datang dari Negeri Samawat, negeri yang sangat jauh. Sudahlah.. e, maaf sekedar bertanya, Bapak puasa?”
“Oh,...tentu. Itu kewajiban saya selaku muslim. Saya melaksanakannya semata-mata mengharap ridha Allah.”
“Baarokallah. Semoga Allah melipatgandakan pahala puasamu.”
Kemudian keduanya terdiam. Lama. Udara semakin meranggas. Pengemis mendengus. Wajahnya tampak semakin lelah. Namun, dia balik semua itu Badrun melihat keanehan pada wajah pengemis. Sinar matanya penuh wibawa. Tampak bukan seperti pengemis,
“Di kota ini, orang sepertiku dianggap seperti kuman penyakit menular. Kota ini sungguh tak bersahabat,” kata pengemis melanjutkan pembicaraan.
“Kami benar-benar tak mengerti. Padahal di kota ini banyak bermunculan pengemis-pengemis profesional dengan segudang fasilitas yang nyaman lagi aman. Mereka berkeliaran bebas tanpa rasa takut dan cemas. Tidak seperti kami yang sering diusir, dikejar-kejar seperti anjing gila.”
“Maksud Bapak, mereka itu siapa?”
“Bapak tak kan mengerti karena Bapak bukan pengemis. Bapak bukan tipe manusia yang suka mengemis. Manusia sehat, kuat tapi pemalas. Manusia yang bisanya mengharap uluran tangan orang lain. Mereka benar-benar pengacau. Karena ulah mereka, kami kena getahnya. Bersama mereka, kami dikejar-kejar petugas razia.”
Badrun semakin heran. Pengemis itu bukan orang sembarangan. Mungkin pelancong yang sedang kehabisan ongkos. Lalu mengemis untuk biaya pulang ke negerinya. akan tetapi, untuk berapa lama? Atau jangan-jangan ia adalah utusan gaib untuk menguji iman manusia di bulan suci ini?
“Di kota ini, orang yang peduli kepada kami hanyalah sedikit jumlahnya. Bapak termasuk orang yang sedikit itu. Saya ucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak selama ini. Dan... ini sekedar pemberianku yang tulus ikhlas. Kutitipkan untuk keluarga Bapak di rumah.”
Orang tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
“Pak Badrun, saya mohon terimalah pemberianku ini.”
Badrun terkesima. Orang tua di depannya, bagaikan sebongkah magnet yang memencar.
Daya magnetnya begitu kuat. Badrun terhipnotis. Ia menerima bungkusan itu. Tanpa banyak komentar, tanpa banyak reaksi, tanpa bicara sepatah kata. Badrun benar-benar terkesima.
“Pak Badrun... Bapak adalah purnama yang menyinari kota ini. Assalamu’alaikum...”
Orang tua itu segera berlalu. Jalannya cepat seperti kilat. Ia menghilang sebelum Badrun menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
ANALISIS
Judul Cerpen : Pengemis Misterius
Pengarang : Saefulloh M. Satori
Sumber : Tukan, S.Pd Paulus. 2006. Mahir Berbahasa Indonesia 2 . Jakarta : Penerbit Yudistira
Unsur Intrinsik
1. Tema :
Pada intinya cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang laki-laki yang bernama Badrun. Badrun bekerja sebagai sol sepatu yang ditinggal mati oleh istrinya dan harus membanting tulang sendiri untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Badrun merupakan sesosok yang penuh belas kasihan, dan berhati besar. Walaupun ia tidak mempunyai uang, tetapi merelakan untuk membantu pengemis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tema cerita pendek ini adalah kedermawanan
2. Alur
Cerita pendek ini beralur maju , maksudnya pada awal ceritanya itu menjelaskan tentang kejadian yang dialami seseorang di saat ini. Bisa dilihat dari jalan cerita yaitu Badrun selalu berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkan kerjaan jahit sepatu, walaupun belum mendapat langganan tetapi ia selalu berbaik hati memberi sedikit uang kepada pengemis atau pengamen, dan membantu ibnu sabil yang sedang kesusahan sampai suatu saat ia mendapat uang dari ibnu sabil tersebut atas kebaikan yang selama ini ia lakukan kepada setiap orang.
3. Ketegangan dan Pembayangan
Ketegangan dan pembayangan yang terkandung di dalam cerpen ini memiliki rangkaian kata atau rangkaian kalimat yang baik, merangsang, sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan pembayangan. Ketegangan dan pembayangan cerpen ini terdapat pada paragraf berikut ini :
“Di kota ini, orang yang peduli kepada kami hanyalah sedikit jumlahnya. Bapak termasuk orang yang sedikit itu. Saya ucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak selama ini. Dan... ini sekedar pemberianku yang tulus ikhlas. Kutitipkan untuk keluarga Bapak di rumah.”
Orang tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
“Pak Badrun, saya mohon terimalah pemberianku ini.”
4. Tokoh dan Penokohan
Ø Badrun merupakan tokoh yang sangat dermawan dan ringan tangan membantu terhadap sesamanya
Badrun mengamati pengemis itu. Tiba-tiba ia terjatuh di dekat trotoar kaki lima. Hampir saja ia terjerebab dalam blumbangan kotor. Badrun segera berlari memberikan pertolongan.
Ø Pengemis I merupakan tokoh yang tidak bersyukur atas apa yang ia dapatkan
“Huh! Emang gue ini siape? Masa Cuma dikasih cepe. Keterlaluan. Buat beli rokok sebatang pun ta dapat,”
Ø Pengemis II merupakan tokoh yang menerima apa adanya
“Mungkin dia tidak punya uang kecil selain cepean itu. Masih untung orang itu mau memberi.”
Ø Ibnu Sabil merupakan tokoh yang sangat baik dengan memberi imbalan atas kebaikan Badrun dan terus terang atas keadaan
Orang tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
5. Latar
Tempat yang menjadi latar cerita pendek ini adalah suasana di pasar dan trotoar kaki lima.
Tiba-tiba ia terjatuh di dekat trotoar kaki lima. Hampir saja ia terjerebab dalam blumbangan kotor. Badrun segera berlari memberikan pertolongan.
6. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang ketiga yaitu nama ”Badrun”. Hal ini dikarenakan pengarang berperan sebagai pelaku yang serba tidak tahu. Pengarang tidak terlibat erat dengan peristiwa-peristiwa dan situasi yang muncul dalam cerita.
Badrun memberi uang kepada pengemis. Dengan rasa suka cita, pengemis segera berlalu hingga hilang ke tengah keramaian pasar.
7. Suasana
Suasana yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah suasana menjelang Idul Fitri dengan penuh harap-harap cemas karena Badrun belum mendapat orderan jahitan yang biayanya untuk anak-anaknya dirumah, dan cahaya matahari yang sangat panas
Saat itu matahari sudah berada di atas ubun-ubun langit. Udara kota menyengat pori-pori bumi.
Binatang melata menggelepar-gelepar kepanasan di atas aspal. Peluh dan keringat jatuh bercucuran.
8. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dapat dijumpai pada cerpen ini yaitu penggunaan majas perbandingan yairu majas hiperbola, dan personifikasi. Majas Hiperbola yaitu gaya bahasa yang maknanya bersifat melebih-lebihkan sesuatu.
Contoh kalimat cerpennya : Udara semakin meranggas dan kota ini, orang sepertiku dianggap seperti kuman penyakit menular
Majas Personifikasi yaitu gaya bahasa yang maknanya itu mengumpamakan benda mati itu seolah-olah hidup. Contoh kalimat cerpennya : Saat itu matahari sudah berada di atas ubun-ubun langit.
Unsur Ekstrinsik
1. Latar belakang pendidikan sastrawan
Lulus dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni program Studi Bahasa Arab IKIP (UNJ) Jakarta, tahun 1991, Magister Agama Islam Fakultas Pasca Sarjana Universitas Islam Jakarta

PUISI



Kenangan indah melewati pandangan mata
Sejak pikiran mulai merasakan
Betapa indahnya semua pengalaman kita
Sejak semua itu kita yang melakukan

Beberapa waktu telah terlewati oleh kegiatan

Dimana semua itu tak akan pernah hilang
Ku kan selalu mengingat kenangan kalian
Dan tak akan pernah hati ini menjadi terbuang

Janganlah panik seperti melesetkan hari hari

Kita pasti berjumpa di waktu yang menentukan
Semua itu tidak akan pernah berlalu lagi
Meskipun terhalau oleh waktu yang memakan

Bentang malam angin sunyi
Semua binatang malam berdengung
Tak ada yang dapat mengiringi
Bagaikan alam yang sungguh tenang

Sipu malam dengan api panas yang menyambut
Diiringi dengan musik yang di inginkan
Semua kenangan yang ada di balik selimut
Di sertai dengan hawa yang dingin

Malam pertama yang dapat bercerita
Suatu cerita bentangnya alam
Dan adanya jerit malam di kalanya
Semua bersemangat dengan lanjutan malam

INDAHNYA SAHABAT SEJATI

Ikatan kuat tak pernah dilepaskan dengan hati
Semacam benang disambung hingga tak sanggup
Kuatnya hati hanya dapat kita rasakan saat ini
Hingga terbit atau terbenamnya persahabatan yang hinggap

Saling merasakan apa yang di lakukan
Sering juga alangkah buruk di perkataan
Saling menceritakan pengalaman yang dirasakan
Betapa Indahnya sebuah ikatan tali persahabatan

Kadang kala susah di pandangan yang terbuka
Begitu pula gendang telinga yang mendengar
Melihat bagaimana ikatan itu tetap terjaga
Walaupun kita hidup ataupun mati dengan pudar





PUISI



Kenangan indah melewati pandangan mata
Sejak pikiran mulai merasakan
Betapa indahnya semua pengalaman kita
Sejak semua itu kita yang melakukan

Beberapa waktu telah terlewati oleh kegiatan

Dimana semua itu tak akan pernah hilang
Ku kan selalu mengingat kenangan kalian
Dan tak akan pernah hati ini menjadi terbuang

Janganlah panik seperti melesetkan hari hari

Kita pasti berjumpa di waktu yang menentukan
Semua itu tidak akan pernah berlalu lagi
Meskipun terhalau oleh waktu yang memakan

Bentang malam angin sunyi
Semua binatang malam berdengung
Tak ada yang dapat mengiringi
Bagaikan alam yang sungguh tenang

Sipu malam dengan api panas yang menyambut
Diiringi dengan musik yang di inginkan
Semua kenangan yang ada di balik selimut
Di sertai dengan hawa yang dingin

Malam pertama yang dapat bercerita
Suatu cerita bentangnya alam
Dan adanya jerit malam di kalanya
Semua bersemangat dengan lanjutan malam

INDAHNYA SAHABAT SEJATI

Ikatan kuat tak pernah dilepaskan dengan hati
Semacam benang disambung hingga tak sanggup
Kuatnya hati hanya dapat kita rasakan saat ini
Hingga terbit atau terbenamnya persahabatan yang hinggap

Saling merasakan apa yang di lakukan
Sering juga alangkah buruk di perkataan
Saling menceritakan pengalaman yang dirasakan
Betapa Indahnya sebuah ikatan tali persahabatan

Kadang kala susah di pandangan yang terbuka
Begitu pula gendang telinga yang mendengar
Melihat bagaimana ikatan itu tetap terjaga
Walaupun kita hidup ataupun mati dengan pudar